PEMIKIRAN TASAWUF NURCHOLISH MAJID
MAKALAH
Disampikan Dalam Memenuhi Tugas Mata Kuliah
PEMIKIRAN TASAWUF ABAD MODERN
DOSEN PENGASUH
PROF. DR. H. ASMARAN. AS. MA
OLEH:
M.ARIF HAKIM
NIM:O902010491
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARAJANA
PROGRAM STUDI FILSAFAT ISLAM
KONSENTRASI
ILMU TASAWUF
BANJARMASIN
2011 M/1432 H
Nurchalis Madjid
(
Dimensi sufistik )
A. Pendahuluan
Sesungguhnya pemikiran Nurchalis
Madjid ini bukanlah “Baru”,karena memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam
Klasik, terlebih khusus pada sufisme.
Paradigma esoterisme ini sebenarnya adalah klaim ciri khas para sufi terdahulu seperti pada
pemikiran al-Hallaj,Ibn
Arabi,Jalaludin Rumi,Muhmud, Syabistari, Abdurahman Chisti, Inayat Khan dan
Lia-lain, yang dikelompikan dalam paham Wahdat al-Adyan, sebagiman yang
ditujukkan Fakta fakta histories,sikap para sufi dalam perjumpaan dan dialog
agama-agama. dalam memandang agama yang berbeda,para sufi menggunakan perspektif metafisika dengan mentransendenkan
bentuk dan menembus ke makna terdalam
ajaraan setiap agama yang bersifat
universal. Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya
agama-agama,bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan
yang ada hanya dalam bentuk luar dan namanya. Agama-agama yang sejati mewakili
beragam manifestasi satu Wujud, prinsif-prinsif berbeda tidak lain adalah
bentuk-bentuk makna ( ma’ani ) arketipel yang dikenakan dalam jubah
keberagamaan.
Dengan gagasan-gagasan tersebut
Nurchalish Madjid tentu saja tidak bertujuan untuk membuat suatu kesamaan
agama-agama,apalagi keseragaman agama karena itu adalah sesuatu yang absurd dan
mengkhianati tradisi tradisi agama-agama. yang dicari adalah adalah suatu titik
pertemuan ( kalimah sawa ), “ comman platform” yang dimungkinkan
secara teologis,yaitu argument keuniversalan pesan-pesan keagamaan yang
memunculkan arti kesamaan pesan ketuhanan.” Kesamaan” di sini tentunya bukan
kesamaan dalam arti formal dalam aturan-aturan ( seperti Syari’ah ),dan
juga bukan dalam pokok-pokok keyakinan,tetapi “ kesamaan” asasi dalam hal
“pesan dasar” yang disebut dalam Al-Qur’an dengan “ Washiyyah” . Gagasan inklusif –Pluralis Nurchalish
Madjid tersebut berdasarkan pada kerangka pemikiran yang menekakankan distengsi
antara “ esoterisme” ( al-bawathin
) di satu segi dan“ esoterisme” ( al-dzawahir ) disegi
lainya.Agama-agama bila dilihat secara esoteris yang sama yakni pesan-pesan
ketuhanan dan kenabian.
B. Pembahasan
1.Riwayat hidup dan karya –karya
Nurchalish Madjid
Keberadaan Nurchalish Madjid sebagai salah satu pemikir modern dalam
wilayah intelektual Indonesia
saat ini, tidak disangsikan lagi. Sebagai tokoh Neo –Modernisme dalam
wacana pembaharuan pemikiran Islam
Indonesia, di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran Islam dengan menghadirkan suasana
baru, ketika berhadapan dengan teks-teks Islam.Dan di sisi lainnya,secara
genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradsis yang
berbeda.
Nurchalish Madjid,yang akrab di
panggil dengan sebutan Cak Nur ini, Lahir di Jombang, Jawa Timur 17 Maret 1939
( 26 Muharram 1358 ) dari kelarga kalangan pesantren. Setelah menamatkan
pendidikan Sekolah Rakyat ( pagi ) dan
Madrasah Ibtidaiyah al-Wathoniyah ( sore ) di Mojoanyar,memilik ayahnya KH.
Abdul Majid, yang juga sakah satu murid K.H. Hasyim Asy’ari,pendiri Nahdhatul
Ulama. Sosok sang ayah ini,nampaknya adalah
tokoh awal yang membentuk “ embrio” dan watak pemikiran,keyakinan dan
intelektualitas Nurchalish Madjid.
Ayahnya yang pertama-tama mengajarkan,mendidik dan menanamkan nilai-nilai
Qur’ani ke dalam jiwa Nurchalish Madjid
Meski pendidikan resminya hanya tamatan
Sekolah Rakyat ( SR ) K.H.Abdul Majid adalah pribadi yang berwawasan luas,fasih
dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren. Meski sering dipanggil
“Kiai Haji”,sebagai ungkapan penghormatan bagi ketinggian ilmu-ilmu keislaman
yang dimilikinya, ia tetap menyebut
dirinya sebagai orang biasa dan ia sendiri secara pribadi tidak pernah
menyebut dirinya kiai dan tidak pernah secara resmi “ bergabung dengan kalangan
ulama”, Meskipun lahis dalam tradisi
N.U.Namun ia menolak jaringan ulama N.U. dan bergabung partai politik N.U.
Sebagai gantinya,ia menjadi anggota dan pendukung setia Masyumi,meskipun ulama
tradisional lainya meninggalkan Masyumi.[1]
Greg
Barton,setelah melakukan serangkaian wawancara, dengan Nurchalish
Madjid,menggambarkan bagaimana sosok kehidupan K.H.Abdul Madjid ini sebagi
berikut :
Abdul Madjid
adalah salah seorang murid kesayangan Kiai Hasyim Asj’ari di pesantren
Tebuireng Jombang.Untuk beberapa tahun lamanya ayah Nurchalish Madjid belajar
langsung di bawah bimbingan Hasyim Asj’ari,bahkan pernah dinikahkan dengan cucu
sang Guru ( setelah cerai menjadi Nyai Kiai Adlan Ali dan Abdul Madjid sendiri kemudian menikah dengan gadis lain
atas pilihan Sang Guru yang melahirkan Nurchalish Madjid ). Tidak dapat di
pungkiri bahwa wawasan intelektual Abdul Madjid,yang kemudian mempengaruhi
pemikiran Nurchalish Madjid dengan
kental,dibentuk oleh guru dan pembimbingnya ini. Dan tentunya ketika Abdul
Madjid mengikuti Kiai Hasyim Asj’ari untuk bergabung dalam Masyumi,dan terus bertahan di Masyumi sebagi
rasa hormat terdalam pada sang guru yang ketika meninggal Dunia masih menjadi tokoh Masyumi. [2]
Karena pandangan politik ayahnya
Masyumi itulah kemudian menyebabakan Nurchalish Madjid yang ketika itu belajar
di pesantren Darul Ulum Jombang Rejoso Jombabg,ia diejek dengan anggapan “
anak Masyumi yang ke sasar” sehingga
harus pindah belajar ke KMI. ( Kulliyatul Mua’limin al-Islamiyah )
pondok Modern Gontor Ponorogo,sampai tamat 1960 [3].
Dan tanpa menyembunyikan pengaruh peristiwa
masa itu, sebagai sebuah pengalaman subyektif yang memberikan pencerahan
intelektual,maka secara terang-terangan dia menyatkan bahwa dirinya adalah
“anak Masyumi” [4]
Tidak mengherankan,penetrasi
pengaruh Masyumi dalam fase formative age-nya ini,mematerikan pandangan
Nurchalish Madjid tentang dimensi dunia politik Indonesia, sebab Masyumi adalah
partai politik besar yang paling konsisten dalam mengembangkan prinsif-prinsif demokrasi
di Indonesia. Semangat Masyumi yang semacam inilah yang mengenap terus ke dalam
benaknya yang kemudian,seperti yang dikatakannya sendiri dikembangkan di
Paramadina[5]
Prinsif- prinsif demikrasi yang
diwariskan dan diserap dari Masyumi di masa pembentukan kesadarnan intelektual
inilah yang tampaknya terus menerus mendorong Nurchalish Madjid berbicara
tentang demokrasi di Indonesia,yang dalam pengembangan penalaran
intelektualnya,mengunakan argument-argumen di sekitar Plularisme,Inklusivisme,toleransi,saling
menghargai relatiisme politik dan sejenisnya,semua bermuara pada demorasi[6]
Lalu apa sebetulnya obsesi yang hendak dicapai Nurchalish Madjid tentang Indonesia
dan umat Islam Melalui ide-idenya di atas? Dengan tatapan cerah ia menghendaki:
Indonesia
yang akan datang itu seperti sosok santri yang canggih. Kenapa santri ? karena
santri itu egaliter, terbuka,kosmopolit dan demikratis,Dan ini merupakan pola
budaya pantai,sebab sekarang kita masih didominasi pola budaya pedalaman ( in
Land Culture ). Dengan kata lain, suatu penampilan Islam di zaman modern
yang menyerap secara konsturktif dan
positif kihidupan modern,namun semua tetap dalam nilai-nilai keislaman. [7]
Perpindahan
ke pondok Modern Gontor Ponorogo, sejak ia berumur 16 tahun, hingga selesai tahun 1960 saat berumur 21 tahun, melengkapi
proses migrasi budaya dan intelektual
Nurchalish Madjid,karena lembaga pendidikan ini secara cultural dan
intelektual berada dalam asuhan dan pengaruh pemikran kaum modernis Islam
Kelihatnya
corak pemikran modernnya terus berkembang baik dari Gontor ini, uang dikenal
sebagai sebuah pesantren yang menggemgleng para santrinya untuk menguasai
bahasa asing ( khusunya baahasa Arab dan
Inggris ),dan berlatih berpikir
komparatif,serta bebas sehingga tidak mudah terjebak pada fanatisme mazhab,
Berkaitan dengan itu Komaruddin Hidayat
mengatakan dengan apresiatif:
Jika ditelusuri
kebelekang riwayat pendidikan dan aktivitas intelektualnya,maka akan sangat
mudah dipahami mengapa Cak Nur tampil menjadi pemikir yang independent dan lontaran pemikirannya selalu bernada
menggugat kemapanan.selama enam tahun melewatkan pendidikan menengahnya
dipesantren Gontor Ponorogo,iklim
pendidikan yang diterima mengajarkan untuk berpikir kritis,tidak memihak pada
salah satu mazhab secara fanatik dan,lebih dari itu, kemampuan berbahasa Arab
serta inggrisnya sangat ditekankan,agar para santri mampu melihat dan
menyandari bahwa dunia ini begitu luas. Salah satu ciri menonjol pada alumini
pesantren Gontor Ponorogo adalah terlatih berpikir,Komprensih sehingga tidak
mudah terjebak pada fanatisme Mazhab.[8]
Pengalaman
pendidikan di Gontor inilah yang kemudin
menjadi andalan bagi kelajutan belajar Nurchalish Madjid,sehingga menghasilakn
keluasan wawasan yang dijadikan bekal saat pergi ke Jakarta pada tahun 1961,setelah mengajar
selama setahun di Gontor. Dengan bakat
akademik yang luar biasa,ia pindah ke Jakarta melanjutkan studi
kejenjang perguruan tinggi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( sekarang Universitas Islam Negeri Jakarta ),dan lulus
dari fakultas Adab jurusan Sastra Arab dan Kebudayaan Islam 1968,dengan menulis skripsi berjudul
Al-Qur’an Arabiyan Lughatan Wa Alamiyan Ma’nan ( Al-Qur’an secara Bahasa adalah Bahasa
Arab,secara Makna adalah Universal.).
Dengan
maksud untuk menunjukan bahwa Al-Qur’an dilihat dari swegi bahasa bersifat
lokal,tetapi dari segi makna bersifat universal,tampaknya Nurchalish Madjid
telah menunjukan kecendrungan untuk melakukan analisis filosofis dan
inklusifistik terhadap ajaran Islam.
Nampaknya
pemikran Nurchalish Madjid, khusunya
paham inklusifisme ini tidak bisa dilepaskan pergaulanya yang begitu dekat
dengan almarhum Buya Hamka selama 5 tahun,ketika itu sebagai mahasiswa ia tinggal di asrama Masjid Agung Al-Azhar,kemayoran
Baru , Jakarta.Komaruddin Hidayat mengungakapkan tentang kedekatan rasa kagum
Nurchalish Madjid kepada Buya Hamka. Dalam berbagai forum,” obrolan “ maupun
dalam perkuliahan di Paramadina,acapkali Nurchalish Madjid mengemukakan aspek
dan kekaguman pada Buya Hamka,karena Buya Hamka menurutnya mampu merekonsiliasi
titik temu pandangan kesufian,wawasan budaya dan semangat al –Qur’an sehingga
dakwah dan pemikiran Buya Hamka sangat
menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota.[9]
Selama
menjadi mahasiswa, ia aktif dalam gerakan dan kegiatan kemahasiswaan,khusunya
di Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI
),sebuah organisasi kemahasiswaan dari sayap Islam yang cukup Liberal, dan di
anggap memiliki reputasi besar dalam gerakan kaum modernis sehingga dianggap
sebagi mitra kerja Masyumi, adapun alasan keterlibatan Nurchalish Madjid di HMI
ini, menuruta Greg Barton, disebabkan pengaruh ayahnya,agar ia memiliki rasa
hormat tinggi pada pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Muhmmad Natsir.[10]Nurchalish
Madjid menjadi ketua umum pengurus Besar HMI untuk priode 1966-1969 dan
1969-1971. Ia juga pernah menjadi presiden PEMIAT ( Persatuan Mahasiswa Islam
Asia Tenggara )
1967-1969. Juga
Menjadi Asisten Sekjen IIFSO ( International Islamic Federation of Students Organizations),1969-1971.kepemimpinan
Nurchalish Madjid dalam organisasi kemahasiswaan ini merupakan hal amat penting
dalam jalur inteletaulisme kehidupanya,dan memberi sumbangan berharga terhadap
perkembagan intelektualnya.
Nurchalish Madjid mulai dikenal menonjol dengan gerakan
pembaharuan dimata masyarkat setelah ceramahnya yang menghebohkan pada 3 Januari 1970 dengan
menyajikan makalah dengan Judul yang cukup Dingin “Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Isla dan Masalah Integrasi
Umat,” tapi secara substansial cukup meriuhkan perbincangan Intelektual. Dalam makalah itu ia secara
bebas dan transparan berbicara keharusan pembaharuan dalam pemikiran Islam
Modernis di Indonesia dengan Mengupas secara jelas tentang tema-tma yang berkaitan
dengan isu-isu:Islam Yes,Partai Islam No: Skularisasi desakralisasi,
Liberalisasi berpikir dan sikap terbuka.[11]
Sejak itulah Nurchalish Madjid
dipublikasikan secara besar besaran dan pemikirannya memancing reaksi
keras,menimbulkan sikap pro dan kontra di kalanngan umat,dan terjadilah polemic
seru antar pemikir muda Islam dengan pemikir Islam seniornya. Hingga ia yang
pada mulanya ia di anggap anak emas oleh para tokoh Masyumi hingga sempat
dipuji sebagai Natsir Muda,tetapi kemudian duhujat dan dianggap berbalik 180
derajat dari lintasan yang konservatif.[12]
Awal tahun 1970 merupakan tonggak
penting bagi pemerintahan Orde Baru yang
lahir dari sebuah gejolak politik,dan Nurchalish Madjid meresapi adanaya
gejolak dan perubahan sosial yang terjadi.Dalam situasi seeperti itu, muncul
pertanyaan bagimana umat Islam bersikap ?. Nurchalish Madjid melihat umat Islam
tak mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi: lunturnya peran
partai partai politik Islam yang tidak mampu lagi menarik massa Islam,karena
ketiadaan ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absoluta
memfosil kehilangan dinamika,Akibatnya dalam pandangannya,umat Islam tidak
teriak tertarik lagi kepada partai-partai
Islam,sehingga sikap mereka jika harus dirumuskan adalah dengan slogan “
Islam yes,Partai Islam no”[13]
Lebih jauh lagi Nurchalish Madjid
berkesimpilan bahwa organisasi-organisasi Islam yang ketika ddidirikan bersikap
anti tradisi,antisektarianisme,sekarang telah menjadi tradisionalis dan
sektarianis sendiri,. Dalam keadaan tiadanya pikiran segar itu,dalam
kacamatanya,karena telah kehilangan apa yang disebut Psycological striking
force ( daya tonjok Psikologi )[14].
Namun pernyataan ,dari mana gerkan ini
harus dimulai dalam keyakinan Nurchalish
Madjid, pembaharuaan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitnya,yaitu melepaskan diri dari nilai
-nilai tradisioanal,dan mencari nilai-nilai
yang beroreintasi ke masa depan.[15].Lantas,untuk
itu dia mengajukan ide-ide seperti “ skularisasi’ Liberalisasi , Rasioanalisasi
dan Modernisasi yang menimbulkan kontraversi dan membuat heboh kalangan
internal umat Islam.
Menghadapi berbagai reaksi balik, Nurchalish
Madjid tetap konsisten mempertahankan gagasan-gagasan pembaharuan. Acapkali ia
harus menjelaskan berulang-ulang konsep-konsepnya agar umat mengerti dan memahami. Tentang Liberalisasi,ia
mengatakan Liberalisasi adalah proses
pembebesan ajaran-ajaran dan pandangan Islam dari nilai-nilai tradisinal dan
mencari nilai-nilai yang beroerintasi ke depan. “ nostalgia atau oreintasi dan
kerindun masa lampau yang berlebih,harus di gantikan dengan pandangan ke masa
depan” demikian penekananya.[16]
Menurut Nurchalish Madjid, proses
Liberalisasi ini berhubungan pula dengan proses lainya,yakni sekularisasi.
Maksud sekularisasi menurut pandangannya adalah “ usaha untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi,dan melepaskan umat Islam
dari kecendrungan untuk mengukrahrawikannya”. Untuk itu dia membedakan istilah
sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme,atau apalagi sampai mengubah kaum muslimin menjadi
skularis. Tapi sebaliknya, dalam pandangan Nurchalish Madjid , sekularisasi
dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “ khalifah
Allah di Muka Bumi”[17]
Untuk melapangkan jalan bagi
terwujudnya proses sekularisasi tersebut, Nurchalish Madjid sejumlah cara,salah
satunya adalah kebebasan berpikir ( intellectual Fredom ).
Maksudnya ialah bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh kedengaran
di telinga haruslah mendpat jalan untuk dinyatakan [18]
Disamping itu dalam usaha
pembaharuan,perlunya idea of Progress
dan sikap terbuka,yaitu berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (
duniawi ) dari mana saja,asalkan mengandung kebenaran. Sikap terbuka, kata
Nurchalish Madjid lebih lanjut,merupakan salah satu tanda bahwa seseorang
memperoleh petunjukdari Allah,sedangkan sikap tertutup merupakan salah satu
tanda kesesatan.[19]
Selain dalam dunia kemahasiswaan, Nurchalish
Madjid yang tidak pernah absent berkiprah dalam dunia ilmiah dari Jurnalisik.
Ia pernah menjadi Pemimpin Umum Majalah MIMBAR, Jakarta,1971-1974,sebuah penebitan majalah
Islam yang provokatif menyebarkan ide-ide pembaharuan ke tengah masyarakat
luas.
Nurchalish
Madjid kemudian juga bersama teman-temanya,pernah
mendirikan dan memimpin LSIK ( Lembaga Studi Ilmu ilmu Kemasyarakatan ),1972-1976,serta
LKIS ( Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi ),1974-1977.Yayasan Samanhudi adalah
yayasan tempat berkumpulnya intelektual muda yang melahirkan berbagai gagasan.
Disinilah Nurchalish Madjid sering
bertemu dengan tokoh pemikir modernis
lainya seperti Johan Effendy,Ahmad Wahab, M.Dawan Raharjo, Syu’bah Asa,
Abdurrahman Wahid. Kemudian kelompok ini ternyata berlanjut pada pembentukan
pertemuan Reboaan di tahun 1980-an dan 1990-an,dan mulai kegiatan-kegiatan
tidak resmi semacam gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kemudian
tumbuh dan berkembang [20]
Pada tahun 1978, Nurchalish Madjid berangkat ke Amerika serikat mengambil
Program Pascasarjana di University
of Chicago dengan di
danai Ford Foundation. Dan di sana Prof.
Fazlurrahman,orang pemikir Islam,Neo –Modernis mengajaknya untuk mengembil
penelitian di bidang kajian ke Islaman ( di bawah bimbinganaya ). Gelar Doktor
dalam Kalam bidang Kalam dan Filsafat diperolehnya tahunya 1984 dengan nilai Cum
Laude, dengan judul disertasi Dortor “ Ibn Taymiyah on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reason and Relevatiaon in Islam” ( Ibn Taimiyah
dalam Kalam dan Falsafat : Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam ).
Tahun 1984,ketika Nurchalish Madjid
kembali ke Indonesia setelah
enam tahun belajar di Chicago
tersebut , beberapa teman beserta pendukungnaya mulai mengadakan pertemuan
untuk melanjutkan ide-ide pembaharuan. Pertemua yang di pimpin Utomo Danajaya
ini merasa berkepntingan untuk
menciptakan kendaraan organisasi yang tetap bagi maksimalisasi potensi yang
membawa perubahan dalam umat islam. Setelah dipertimbangkan secara
matang,diputuskan bahwa lembaga baru harus didirikan dengan nama “ Paramadina”[21].Dengan
organisasi yang disusun oleh teman-temannya yang terpercaya ini, , Nurchalish Madjid bebas untuk mengembangkan ide-idenya,dan
menyalurkan sepenuhnya energi aktivitas intelektualnya [22].
Yayasan Paramadina sebagai lembaga
keagamaan yang menyadari keterpaduan anatara keislaman dan keindonesiaan
sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam yang Universal dengan tradisi
lokal,dirancang untuk menjadi pusat kegiatan yang kreatif, Konstruktif dan
positif bagi kemajuan masyrakat tanpa sikap-sikap defensive dan reaktif. Oleh
karena itu maka program pokok kegiatannya berkisar pada peningkatan dan
menyebarkan paham keagamaan Islam yang luas,mendalam dan bersemangat
keterbukaan.
Nurchalish Madjid yang menikah 1969 dengan Omo Qomaria,dengan
beroleh sepasang permata hati, Nadia Majid dan Akhmad Mikail ini, tetap menjadi
dosen di Uin Jakarta dan berkutat di bidang riset sebagai peneliti di Lipi (
Lembaga Ilmu Pengetahuan ). Namun demikian tetap Paramadina-lah yang menjadi
kendarran utamanya dan merupakan focus energinya. Disisnilah tokoh pemikir
pergerakan Islam ini, banayak menulis makalah-makalah dan buku-buku yang
diterbitkan dan menyebar dalam beberapa Koran,majalah, buku,dan suntingan. Dan
demi alasan-alasan strategis,konsentrasi aktivitas ini adalah pada usaha mempengaruhi
kelompok elite yang paling berpengaruh,kelas menengah atas.[23]
Nurchalish Madjid bisa digolongkan sebagai seorang cendikiawan
yang produktif. Dalam perjalanan hidupnya selama 66 tahun,sudah begitu banyak
karya ilmiah,baik berupa artikel, makalah maupun buku yang ditulisnya, semuanya
mencerminkan ide, gagasan dan pemikirannya. Diantara karya –karya ketua dan
sekaligus pendiri Yayasn Wakap Paramadina
dan bekas anggota Komnahs Ham RI dan Kini Rektor Universitas Paramadina Mulya
ini, yang sudah ditebitkan: adalah Khazanah Intelektual Muslim (
Jakarta: Bulan Bintang 1986 ); Islam
Kemodern dan Keindonesiaan ( Bandung : Mizan 1988 ) Islam Doktrin
dan Peradaban, Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan ,Kemanusiaan dan Kemoderan ( Jakarta :
Paramadina 1992 ); Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan ( Bandung Mizan
1992 ) Pintu- Pintu Menuju Tuhan ( Jakarta : Paramadina,1994 ),Islam
Agama Kemanusiaan membangun
Tradisi dan visi Baru Islam ( Jakarta: paramadina 1995 ) Kaki Langit Peradaban Islam
( Jaakarta : Paramadina 1997 ) Tradisi Islam :Peran dan fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (
Jakarta : Paramadiana, 1997) Masyarakat Relegius ( Jakarta : Paramadiana, 1997),Perjalanan
Religius Haji dan Umrah ( Jakarta :
Paramadiana, 1997), Bilik- Bilik Pesantren (
Jakarta : Paramadiana, 1997),Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai
Islam dalam Wacana sosial Politik Kontemporer ( Jakarta : Paramadiana, 1998), Pemikiran
Politik Islam Era Reformasi
( Jakarta : Paramadiana, 1999), Cendikiawan
& Relegius Masyarakat ( Jakarta
: Paramadiana, 1999 ), Pesan-Pesan Takwa ( Jakarta : Paramadiana, 2000), Indonesia Kita (
Jakarta PT: Granmedia Pustaka
Utama,2004 ) dan Lain-lainya.
Di antara karya-karya dalam bahasa
Inggris adalah : “The issue of Moderenization among Muslims of
Indonesia : From a
Participant’s Point of View dalam
Gloria Davies ( Ed ) What is Modern Indonesia Culture ? (
Athens,Ohio,University of Ohio Southeast
Asia Studies,1979 ) Islam In Indonesia:
Challengges anf Opportunities” dalam Cyriac K. Pullapilly ( Ed ),Islam in
The Contemporary World ( Notre Dame, Indiana, Cross Roads
Books,1980).
Pemikiran Pemikiran Nurchalish
Madjid telah banyak menggoreskan
pengaruh yang mendalam baik pada diri pribadi maupun komunitas tertentu. Dan
ini bukti bahwa ia sering menjadi obyek penelitian untuk tesis dan disertasi[24],sehingga
oleh beberapa teman-temannya di Amerika
Serikat,ia digelari
sebagai “ The Living Legend” ( sang legenda Hidup ).
Secara sederhana pemikiran
Nurchalish Madjid dapat disimpulkan sebagai
mengartikulasikan tiga ranah kelimuan yaitu akar keilmuan Islam klasik,wawasan
kemodernan dan sekaligus persentuhan dengan persoala keindonesiaan
Nurchalish Madjid adalah tipe pemikir yang independen, yang
tidak memiliki obsesi untuk memperoleh masa pengikut, kecuali setia pada
tradisi dan sikap keilmuan,serta obsesi untuk selalu mendekati kebenaran meski
kadangkala harus berbeda dari pemahaman ulama umumnya yang telah melembaga dan
menjadi ideologi Itulah sebabnya, menurut sering dan selalu dianggap
controversial dan menjadi sasaran kritik[25]
Memang Nurchalish Madjid adalah sebuah fenomena untuk konteks
masyarakat Indonesia.Sifat fenomenal tokoh ini, menurut Fachry Ali dapat
dilihat pada fakta bahwa kekuatan pribadi dan pemikiranya yang mampu melahirkan
pengaruh terhadap perubahan-perubahan
tertnetu di dalam masyarakat Indonesia,baik yang bersifat Literal maupun
Institusional[26]
Secara literal kehadiran Nurchalish
Madjid telah memperkaya khazanah
literature intelektual di Negara ini, hal itu ditandai bukan saja oleh
publikasi pemikiran-pemikiran,mampu publikasi studi studi tentangnya yang
dengan sendirinya melahirkan dinamika intelektual.Melallii Karya-karya itu,m
bukan sajamendpat bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia, melainkan
juga memberikan landasan bagi perbedebatan dan pengelanaan intelektuallebih
lanjut bagi generasi generai mendatang secara institusional,hasil dari pengaruh
Nurchalish Madjid bisa terlihat dalam
wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI di masa kepemimimpinanya dan beberapa
pride setelah itu,tapi pengaruh
international yang paling mencolok adalah yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Nurchalish
Madjid meletakan pengaruhnya bukan saja
pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya,melainkan juga pada terbentuknyasebuah
komunitas tertentu walau masih samar- samara yang menjadi pendukungnya dari
kalangan santri kota[27]
Lewat yayasan paramadina yang
didirikanya, Nurchalish Madjid kerap mengedakan forum kajian keagaman terutama
untuk kalangan kelas menegah kota
secara rutin setip bulan. Pesona pemikiranya tersosialisais lewat
buku-buku,ceramah,kuliah dan layar televisi
Tentang tipologi pemikiran Nurchalish Madjid,pendapat Azyumardi Azra patut dipertimbangkan. Menurut Azyumadi Azra
pemikiran Nurchalish Madjid bukanya tidak mengalami perkembangan,sejak 1970-an
sampai pada masa-masa belajar di Chicago,dia umumnya memang dapat disebut
sebagai pemikr “ neomoderinis” hal ini terlihat jelas bukan hanya dari basis-
basis pemikiranya,yakni tradisi Islam Klasik,tetapi juga tampak pada concer
intelektualnya yakni memberikan respon Islam terhadap tantangan modernisme dan
modernitas[28].Namun
sepulangnya dari Chicago lanjut Azra, Nurchalish Madjid mengalami pergeseran,dimana dia tidak lagi
sepenuhnya bertumpu pada persoalan modernisasi dan modernitas,tapi melangkah
lebih jauh lagi yakni membangun suatu “ peradaban Islam” yang khas,yang berakar
berakar kuat pada tradisi Islam Klasik. Peradaban Islam yang Viable Bukan hanya
dalam era modern, tetapi juga dalam masa post-modern. Dalam hal ini dia lebih
sebagai pemikir “ Neo- tradisioanlis”
Di akhir 1990-an, Nurchalish
Madjid terlihat banyak berbicara tentang
sufiesme dan penerpannya dalam masyarakat kota
yang haus akan spiritual. Aktivitasnya ini dinilai berhasil membangkitkan
geliat tasawuf di kalangan menengah ke atas perkotaan yang pada 1970-an baru
diperkenalkan ke kalangan tersebut oleh Buya Hamka.
Ikon pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia ini menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai pada senin,29
Agustus 2005 di rumah sakit Pondok Indah Jakarta,akibatnya penyakit hati yang
dideritanya. Setahun sebelumnya,aktivitas yang dapat kegiatan ini mengidap
Virus hepatitis C ini, setempat menjalani transpalasi hati di Taiping people’s
Hospital Huamen,China Jasad tokoh yang telah mewariskan banyak pemikiran untuk
bangsa ini.dimakamkan di taman makam
Pahlawan Kalibata Jakarta. Dalam obituarinya, syu’bah Asa,wartawan senioar
Majalah Tempo,mengatakan, Jarang rasanya,harus dikatkan,orang yang bangga pada
agamanya seperti Nurchalish Madjid,ia memandang Islam sebagai peradaban,
kelembutan dan keindahan,yang bahkan tak harus menyentuh para muslimin
saja.tapi juga seluruh umat manusia di bumi,dalam senangat plural yang
diajarkan dalam AL-Qur’an.[29]
B.Orintasi Sufistik Pemikiran
Nurcholish Madjid
Adalah suatu fenomena yang
menarik,sejak munculnya gerakan modernisme,sufisme,terus menjadi bulan-
bulanan,dan dikritik,paling tidak atas tiga tuduhan. Pertama, atas
sikapnya yang terlalu Famileir terhadap praktek-praktek keagamaan yang dinilai palsu.Kedua, pembawanya yang cendrung mengingkari dunia
berikut perlambangan-perlambanganya, dan ketiga ia telah menjadi penyebab
mundurnya umat Islam lantaran wataknya yang merusak intelektualisme dan
rasionalisme kaum modernis memang sangat berjasa dalam mengembangkan penafsiran
dan pemikiran keagamaan. Kalau alam pikiran kaum fuqaha lebih menekankan agama
sebagai “ Hukum” maka kaum modernis
memekarkanya menjadi semacam “ ideology” Namun perbedaan itu tidaklah bersifat
prisipil,pada dasarnya pola keberagaman disitu
tetaplah sama. T uhan lebih dihayati sebagai “ al-Hakim” sang pemb eri
syari’at untuk mengatur peri kehidupan
manusia,sedangkan manusia hanyala “ Mukallaf “,makhluk diberi beban untuk
melaksanakan syari’at. Karena itu keberagamaan semacam ini oleh sebagian orang
dirasakan kurang memberikan peluang justru pada dimensi kedalaman dari agama.
Padahal justru pada dimensi kedalaman itulah terltak “ inti keberagamaan”
Disinilah sesungguhanya terletak fungsi tasawuf.
Lalu bagaimana sesungguhnya para pembaharu
pemikiran Islam, khususnya Nurcholish Madjid
memandang taswauf atau sufisme itu?apakah ia,seeperti kebanyakan tokoh
reformasi Islam yang menunjukkan sikap anti tasawuf,dan bahkan tidak
jarang,langsung menyamakan cabang keilmuan Islam tradisional ini sebagai “ bid’ah” yang harus diberantas.
Tidaklah berlebihan kiranya jika
disebutkan bahwa Nurcholish Madjid
adalah seorang pemikir Islam modernis yang paling terkemuka saat ini. Sebagai
juru bicara kaum modernis Indonesia,ia
dengan fasih mengungkapkan pemikirannya secara mendalam dengan bahasa yang
jernih,kaya ilustrasi dan sarat dengan kutipan al- Qur’an dan rujukan kitab
kuningan.
Dalam kaitan dengan sufisme,nampknya
Nurcholish Madjid memilikisedikit keunikan,antara lain terletak dalam kenyataan
bahwa beliau seorang modernis yang mendorong reformasi pemikiran Islam,bahkan
termasuk seorang pelopor dan pemimpin
garda terdepanya. Namun berbeda dengan kebanyakan kaum modernis lainnya, beliau menunjukkan
minat dan perhatian intelektual yang cukup besar terhadap tasawuf atau sufisme
itu. Sikap Apresiatif Nurcholish Madjid terhadap pemikiran sufi,dapat dilihat
dari sikapnya terhadap Buya Hamka yang dipujinya,yang tidak banyak orang
sepertinya,di mana di satu pihakbegitu modernis dan reformis,tpi lain pihak
menerima dan mengembangkan sufisme[30]
Walaupun tidak ditemukan buku-buku
hasil karyanya yang secara khusus menguaraikan tentang tasawuf,namun dari
beberapa tulisanya yang bertebaran dapat ditemukan noktah-noktah pandanganya tentang aspek esoteris dari
ajaran Islam ini.
1. Sufisme adalah Aspek Esoterisme
Islam
Menurut Nurcholish Madjid secara
tradisioanal sufisme termasuk salah satu cabang ilmu pengetahuan tradisonal
Islam, selain fiqih,ilmu kalam,dan filsafat. Semuanya lahir secara sendiri
-sendiri tetapi saling berkait[31].
Kelahiranya sebagai disiplin ilmu tersendiri,adalah sebagai kelanjutan wajar
dari keperluan kepada adanya semacam diferensiasi ilmu pengetahuan Islam dakam
abad-abad kedua dan ketiga Hijriah[32]
Ketika Islam mencapai sukses yang luar
biasa sepeninggalan Rasullulah,khususnya di bidang militer dan politik membawa
berbagai akibat yang sangat luas.Salah satunya adalah perhatian yang amat besar
pada bidang-bidang pengaturan masyarkat. M aka tidaklah mengherankan bahwa dari
berbagai segi agama Islam,yang paling awal memperoleh banyak penggarapan serius
ialah yang berkenaan dengan hukum (
fiqih ),maka kesalihan-pun banyak dinyatkan dalam ketaatan kepada ketnetuan
hukum.[33]
Tetapi kesalihan yang tertumpu
kepada kesadaran hukum itu,akan banyak berurusan dengan tingkah laku
lahiriah,dan hanya secara parsial saja berkaitan dengan hal-hal bathiniah,maka
menurut Nurcholish Madjid,tasawuf kemudian tumbuh menjadi dimesi lain dari
penghayatan Islam yang telah semakin
kehilangan dimensi batinnya ( esoteris ) akibat dominasinya orientasi hukum yang berwatak esoterisis ( hanya
menekankan aspek lahiriah ). Sejak itu menurunya timbul pendalaman pendalaman
kajian untuk memerangi “ kekeringan” dimensi batin itu dengan perkaya oleh
sentuhan-sentuhan dengan agama lain dan unsue-unsur filsafat Yunani,khusunya
Neo-Platonisme untuk melakukan penasiran penasiran metaforis [34]
Mengapa para Sufi memiliki kesedihan
yang besar untuk bersentuhan dengan umat-umat lain yang sesuai atau terbaik?
Menurut Nurcholish Madjid hal ini karena kaum sufimemiliki kesadaran akan
ketunggulan kebenran.Lebih dari kelompok fuqaha atau mutakallim,kaum sufi
sangat memperhatikan ajaran-ajaran dalam kitab suci tentang ketunggalan
Tuhan,ketunggalan kemanusiaan dan ketunggalan kenabian serta kerasulan. Agaknya
karena pandangan hidup unviersalitas-nya,kaum sufi bersedia untuk meneliti apa
yang ada pada umat –umat lain dan mengambilnya[35]
Karena tauhid yang merupakan suatu
yang tidak boleh diragukan,maka bagi
kaum sufi.al-Qur’an itu tidak hanya memuat ajaran ajaran yang
mengisyaratkan bahwa Tuhan itu serba
transcendental sebagaimana dipahami para mutakalimin,tetapi justru menurut para
sufi,banyak ayat yang memberikan keterangan keterangan yang menunjukkan Tuhan adalah serba immanen,senantiasa hadir
bersama haamba-Nya selalu Maujud dimana-mana[36].
Berbeda dengan para fuqaha yang banyak menekankan segi transendensi Tuhan,kaum
sufi lebih menekankan sifat imanensi-Nya. T uhan memang tidak akan
terjangkau,namun bisa didekati ( taqqarub ). Sebab selain Dia mahatinggi,Dia
juga Mahadekat, amak Tuhan senantiasa akrab dengan hamba hamab-Nya dan setiap
saat dapat diajak dialog. Semangat dialaog dengan Tuhan dalam akrab yang amat
tinggi itulah,kata Nurchalish Madjid ang banyak mewarni karya-karya para sufi.[37]
Memang menurut Nurcholish
Madjid,hubungan antar sufisme dengan kata kedua cabang ilmu-ilmu keislaman.
Namun katanay, bahwa perbedaan itu pada awalnya,terutama antarasufisme dan ilmu
kalam lebih terletak pada masalah trkanan daripada isis
ajaran. Selain persoalan terletak pada masalah tekanan pada isi ajaran. Selain
persoalan transendentalisme,ilmu kalam juga lebih mengutamakan pendekatan
rasiaonal dan logis dan bersama syari’ah memebentuk oroentasi keagamaan yang
lebih bersifat eksoteris. Sedangkan tasawuf sangat banayak menekanakan
pentingya penghayaatan ketuhanan melalui pengalaman pengalaman nyata dalamo
laha rohani ( sprritual exeserise ) yang mengutamakan intuisi[38]
Lebih jauh lagi,sefisme itu pada
mulai kelahiranya,menurut Nurcholish Madjid,juga tidak dapat dilepaskan dari
gerakan oposisi terhadap praktek-ptraktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di
Damaskus memang sebagaian oposisi ituterjadi karena dorongan politik
semata,seperti oposisi orang arab Irak,tetapi sebagian lagi,katanaya justru
lebih umum,oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum umawi itu kurang “
relegius”. Disini ketokan Hasan dari basrah yang peranaya tidak dapat dianggap
sepele adalah mewakili kelompok gerakan
oposisi jenis ini. Para pengikutnya yang
memiliki kecendrungan hidup zuhud ( asketik ) dengan pakaianya dari bahan wol (
shuf ) inilah yang kemudian dianggap seabagian kaum sufi [39]
jadi jelas menurut Nurcholish Madjid keberadaan tasawuf itu pada awalnya
merupakan faktor pengimbang bagi fuqaha fiqih yang banyak menekankan segi hukum
yang bersifat lahiri,dan bagi kalam yang lebih berorientasi rasional –
dialektis. Tasawuf juga sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan material yang
mewah dan menyimpang hingga menimbulkan semacam gerakan gerakan yang oposisi
suci ( pious opposition)
dikalangan tertentu
Dalam perkembangan sejara
Islam,ketika kejayaan politik Islam meredupakan,terutama karena serbuan Mongol
dan ditamabah oleh kemunduran ekonomi,menurut Nurcholish Madjid,kaum sufi telah
berjasa memelihara semangat Islam dan esksistensinya dengan Ribath ( pos-pos
kaum sufi ) yang mereka dirikan disetiap kota. Dan karena
kebiasaan mereka berkelana sambil datang ke Indonesia. Jadi sejak saat itu
penyebaran Islam tidak lagi ditopang oleh kegiatan militer,melainkan diambil alih
oleh kaum sufi.[40]
2. Sufisme sebagai Inti Keberagamaan
Sebagaimana
disebutkan bahwa kebanyakan tokoh pembaharu Islam menujukan sikap yang anti
tasawuf dan bahkan menuduhnya sebagai bid’ah yang harus diberantas. Namun Nurcholish Madjid selain
mengakui bahwa pada tasawuf itu terdapat berbagai gejala yang tidak bisa
dibenarkan oleh ajaran Islam,ia masih
tetap melihat adanaya segi-segi yang otentik dalam tasawuf sebgai kelajutan
wajar dari semangat ajaran Islam itu sendiri,khususnya peneladanan kepad masyarakat
klasik yang melahirkan konsep Salafiyah .
Sambil menolak pendapat para ahli
yang hendak mereduksi misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada
suatau gerakan reformasi sosial,menurut Nurcholish Madjid bahwa Rasul itu
membawa reformasi sosial kiranaya sudah jelas,sebab al-Qur’an sendiri Mengaitkan
keimanan serta penerima seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia,tetapi
di berbagai tempat dalam Al-Qur’an banyak menegaskan tentang pentingnya
orientasi keruhanian yang bersifat kedalm dan mengarah kepada pribadi. M
enurut Nurcholish Madjid Islam adalkah
agama pertengahan ( wasath ) anatara orintasi legistik dan masyrakat seperti
agama yahudi,dan oreintasi spiritualistic dan pengalaman rohani seprti agama
Kristen.[41]
Selain sebanarnya,sudah sejak zaman
Rasullulah s.a.w sendiri,terdapat
kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang
bersifat batiniah yang tersebut kelompok ahl
al –Shuffah,yang menjadi acuan teladan kehiudpan shahih di kalangan
sahabat,menurut Nurcholish Madjid sufisme itu mempunyai akar yang kuat (
builth-in) dalam al-Qur’an,jauh lebih kua daripada orientasi hukum ( fiqih ). Secara sederhana jika
misalnya dideratkan ayat-ayat yang relevan dengan hukuman dan ayat-ayat yang
relevan dengan kesufian,jelas lebih banyak deretan terakhir. Hukum Islam itu
sendiri sebenarnya bicara tentang keagaman. Sebagian contoh perihal
takwa,sebagai konsep sentral dalam Al-Qur’an,menurut Nurcholish
Madjid tidak dibicarakan oleh
fiqih,pembahsan takwa justru selalu dijumpai pada bab Fadhai’il al-amal
sebagiman suatu aspek akhlak atau tasawuf[42].
Kertika menanggapi sekitar gejala
antusiasme agama yang muncul di kalanagan tertentu, Nurcholish Madjid
menyarankan supaya diisi dengan pelajaran tawasuf supaya lebih mengerti akan
nilai keagaman yang lebih tinggi misalkan ikhlas. sebab lanjutnya,antusiasme agama ini bisa jadi
bumerang kalau tidak ditingkatkan lebih tinggi,ke tahap ontologism,yakni
pencarian hakikat itu sendiri.[43]
Karena ini jelas sekali bahwa Islam
sebagai bentuk pertengahan antara orientasi lahiriah dan orientasi
keruhanian,dan bahkan sesungguhnya antara keduanaya ini tidak bisa
dipisahkan,meskipun dapat dibedakan.Selajutnya Nurcholish Madjid menegaskan :
Ketika seorang
muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lihiryah,ia diharapkan,malah
dihaurkan,menerimanya dengan kerulusan yang terbit lubuk hatinya,ia harus
merasakan ketentuan hukumitu sebagai sebagai suatu yang berakar dalam komitmen
spiritualnya[44]
Tentang orinetasi pengalaman
spiritual menurut Nurcholish Madjid,al- qur’an sendiri memuat berbagai firman
yang merujuk kepada pengalaman spiritual Nabi. Mislanya gamabran tentang dua
kali Nabi bertemu dan berhadapan dengan malaikat Jibril di gua Hira di atas Bukit cahaya ( Jabal Nur ) dan
bertemu Allah dalam perjalanan Isra dan
Miraj. Bagi kaum sufi. Bagi kaum
sufi,pengalaman Nabi dalam Isra Miraj
itu adalah sebuah contoh puncak
pengalaman rohani. Dan para sufi menjadikannya sebagai teladan unutk ditiru
bagi dirimereka sendiri,dalam dimensi,skala dan format yang sepadan dengan
kemapuan mereka. Sebab inti pengalaman
itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di
hadapan Tuhan,dan bagaimana ia “ bertemu” dengan Dzat Yang Maha tinggi
itu,sebagai puncak kebahagiaan. Sebab dalam “ pertemuan” itu,segala rahasia
kebenaran “ tersingkap” untuk sang hamba,dan sang hamba pun lebur dan sirna
dalam kebenaran.[45]
Ahkirnya dari paparan di
atas,jelaslah pandangan Nurcholish Madjid tentang kedudukan sufisme atau
tawasuf,yang menurutnya tidak bisa dipisahkan dai keseluruhan agama Islam.
Ringkasnya,ia menyatakan:
Bahkan jika
Tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah inti ( batin ),maka ia juga
berarti merupakan inti keagmaan (
relegiitas) yang bersifat esoteris. Dari sudut ini maka “ ilmu Tasawuf tidak
lain adalah penjabaran secara nalar ( nazar,teori ilmiah)tentang apa sebenarnya
taqwa itu[46]
3. Tentang Kontraversi dalam Tasawuf
Sekalipun sufieme mendasarkan ajaran-ajarannya pada
al-Qur’an dan Sunnah,khususnya dalam soal- soal doktrin,namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
perkembangannya,esoterisme Islam ini menerima,atau barangkali lebih tepat
memasukkan, unsure-unsur asing dari luar,hingga dapat menimbulkan ekses –ekses negative. Dalam hal
ini,sikap Nurcholish Madjid memang sangat
hati-hati, menurutnya ekses-ekses yang timbul seluruhnya dapat dicegah.Lebih
jelas Nurcholish Madjid mengatakan:
Sebetulnya
ekses-ekses tersebut ada dalam rangkaian suatu susunan ajaran dan paham yang
sangat komplek dan sulit dipahami.
Agaknya tekanan yang berlebihan pada kemampuan intuisi pribadi dalam mengenali
Tuhan telah memberi peluang bagi tumbuhannya dorong- dorongan subyek untuk
menemukan dan mengemukakan cara-caranya sendiri dalam menjalaniamalan ruhani[47]
Nampaknya
Nurcholish Madjid,dengan pendapatnya di atas,ia dapat memaklumi terjadinya
ekses-ekses demikian,karena iitulah tentang terjadinya pandangan kontraversi dan penghakiman terhadap beberapa
tokoh tasawuf,misalnya tuduhan sesat kepada paham wahdat al- Wujud di mata ahl
al-dhawahir,menurut Nurcholish Madjid hal itu akan memiliki implikasi yang
serius,karenamenyangkut masalah samapai dimana seorang bisa dan berhak menilai
pengalaman keruhanian sesprang yang bersifat pribadi ( individuation )[48]
Diakuinya,oleh
karena pengalaman mistik hampir mustahil dikomunikasikan kepadao orang lain,dan
lebih merupakan milik pribadi,maka sering terjadi adanya tingkah laku
eksenterik dan “diluar garis”.Apa yang diungkapkan para sufi tentang suatu “
hakikat”,dan itu adalah suatu rasa yang bersifat intuitif,maka tidak jarang
munculnya “ keliaran” menjadi tinggi sekali.
Selain
itu,kesulitan lainya adalah dalam memahami litelatur kesufian,yang menurut
Nurcholish Madjid ,bahwa pengungkapan ide dan ajaran di dalamnyasering menggunakan
kata kiasan ( matsal )dan perlambang ( ramez ). Karena itu ungkapan-ungkapan
yang ada haurs dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir
batini ( ta’wil ). Dan adalah ta’wilitu,lanjutnya,yang memang yang menjadi
metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik kitab suci maupun hadis
Nabi.
Maka
meskipun mereka menggunakan ta’wil menurut Nurcholish Madjid kemudian
meyakinan,bahwa mereka sebanarnya tetap berpegangan kepada sumber-sumber suci
itu. Hanya saja, sejalan dengan metode itu, mereka Nurcholish Madjid lagi,tidak
memahami sumber-sumber mereka kaum syariah.[49].karena
itu dalam menyingkap sikap-sikap kontraversial para sufi itu, Nurcholish Madjid
nampaknya masih menyimpan sikap apresiasi yang tinggi pada pandalaman mistik
kaum sufi dengan menyatakan:
Dalam
semangat empatik,mungkin justru pengalaman mistis kaum sufi harus harus
dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati.seperti pengalaman
Nabi dalam Mi’raj yang tak terlukiskan,sehingga karenaya juga tak
berkomunikasikan,pengalaman mistis kaum sufi pun sesungguhnya berada di luar
kemapuan rasio untuk menggambarkannya. Kaum sufi gemar mengatakan bahwa untuk
bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu,seseorang hanya harus mengalami
sendiri tidak mungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak pernah
mencicipinya sendiri[50]
Walaupun
Nurcholish Madjid menyimpan sikap apresiatif yang tinggi pada inti ajaran
tasawuf,dengan tetap melihatnya adanya segi-segi yang otentik dalam tasawuf dan
diperlakukannya begitu rupa sehingga tampak sebagian kelajutan wajar dari
semangat ajaran Islam, Namun sebagai seorang reformis,beliau masih tetap
mengingatkan bahwa kecendrungan kepada aspek esoteterisme itu,karena tekanan
yang berlebihan,dapat menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsif
ekuilibrium dalam Islam,dan menyalahi ajaran Islam,seperti Zuhudatau asketisme
yang pasif,isolatif dan “anti dunia” secara ekses-ekses negafit dari pemujaan
kepada wali,kultus individu terhadap guru dan sebagainya yang menjurus kepada
hilangnya sifat kritis dan kreatif
Dalam
hal ini,ajaran tasawuf perlu dipagari begitu rupa hingga tak menimbulkan
eksek-ekses negative tersebut dan menimbulkan kemunduran dan kefasipan akibat
salah dalam tasawuf. Itulah sufisme yang sehat yang dikehendaki. Nurcholish Madjid mengatakan:
Menurut hemat
saya,sufisme yang sehat akan berfungsi dengan sehat pula.manakal tingkat
intelektualitas dari para penganut sufi
telah cukup tinggi. Adalah sebuah sikap yang benar jika para ulama
melarang umat Islam memasuki dunia sebelum berbenah diri dengan syari’at (
fiqih)[51]
Apa
yang dimaksud Nurcholish Madjid sebagi
sufisme yang sehat itu nampaknya yang dimaksudkanya sebagai “ Neo-sufisme”
yaitu suatu jenis kesufian yang mempunyai cirri utama berupa tekanan kepada
motif moral dan menghapuskan praktek dan pengalamanaya tetap dalam control dan
lingkungan ajaran al-qur’an dan sunnah. Nurcholish Madjid sendiri menggmabrkan
“ Neo sufisme”itu sebagi
Sebuah
esoterisme atau pengayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan.
Sesekali menyingkirkan diri ( uzlah ) mungkin ada baiknya,tapi jika hal itu
dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan,yang
kemudian dijadikan titk tolak untuk pelibatn diri dan aktifitas segar lebih
lanjut[52]
Dari
kutipan di atas, nampak jelas penekanan Nurcholish Madjid bahwa jalan sufisme
itu perlu pelibatan diri dalam masyarkat
secara lebih kuat,sufisme itu
perlu pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat sufisme dinginkannya
semacam sebuah spiritual sosial. Lalu bagaimana dalam prakteknya” untuk itu ia
mencontohkan seprti apa yang dikemukakan dalam sebuah risalah kecil yang
berjudul al-Ruhaniyat al –Ijtima’iyah karya Dr Sa’id Ramadhan,pemimpin
Islamic Centre Jenawa,Swiss yang disebutnya sebagai zuhud atau askestisme “
modern”Ringkasnya adalah:(1).Membaca dan merenungkan makna kitab suci
al-qur’an:(2).membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad. SAW.
melalui sunnah dan sirah (
biografi ) beliau : (3).memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seprti
para ulama dan tokoh Islam yang zuhud: (4).menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela: (5).mempelajari
hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Qur’an dan sunnah, dengan sikap
penuh percaya; (6).melakukan ibatdat-ibadat wajib dan sunnah, seperti
sembahyang lima waktu dan Tahajjud.[53]
Kemudian
bagaimana halnya dengan pengalaman mistik para sufi? Neo- Sufisme itu tidak
mempersoalkan dan masih mengakui sampai bats tertentu,kebenaran klaim sufisme
intelelektual seperti adanya kasyaf ( pengalaman penyingkapan kebenaran ) kaum
sufi atau ilham intuitif. Pengalaman metafisis pribadi kasyaf itu,kata
Nurcholish Madjid adalah abasah,namun bersifat pribadu dan tidak berlaku untuk
orang lain.juga tidak boleh diklaim sebagimana mesti benar,sebab kebenaran
suatu pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebesihan sumber
kebahagian pribadi yang tiada taranya,namun hal itu tidak dapat disertai orang
lain, atau orang lain tidak dapat disetakan di dalamnya.[54]
Setiap
ajaran esoteric tentu memiliki segi-segi eksklusif, yang menyangkut hal-hal
“rahasia”. Jadi tidak dapat dibuat untuk
umun,karena bobot keruhaniannya ysng berat membuatnya sukar dimengerti oleh
kaum awam,atau mudah menimbulkan salah paham pada meraka.karena itu segi-segi
eksklusif tersebut seyogyanya tidak dipahami seorang melalui kegiatannya
pribadinya semata,melainkan dipahami dari seorang guruya pembimbing ( mursyid )
yang sudah diakui kewenanaganya. Disinilah nampaknya Nurcholish Madjid melihat absahnya
keberaddan terkat-tarekat ynag muncul dalam sejarah sufisme.
Lebih
lanjut iya mengatkan:
Kehidupan
sufistik memang untuk maqam tertentu. Akan tetapi dibenarkan juga adanya bentuk
sufisme populis,yang diperuntukkan bagi orang awam. Ajaran sufi untuk orang
awam ini biasanya melahirkan diri dalam bentuk batas-batas akhlak. Oleh karena
itu,dalam hukum Islam,akhlak sebagai etik,tidak berkembang secara
terpisah,melainkan menjadi bagian dari
tasawuf [55]
Tasawuf
dalam batasan –batasan akhlak yang
diperuntukan bagi orang awam itulah,yang dalam istilah populer dikalangan
Nahdatul Ulama sebagai “thariqah mu’tabarah”dimaksudkan Nurcholish Madjid
dengan sebuah tarekat yang dapat diterima keadaanya.Bagi Nurcholish Madjid Gerakan gerakan tarekat
dalam tasawuf pada prinsifnya adalah hasil ijtihat dalam usaha mendekatkan diri
kepada Allah SWT. maka dalam menilainya tidak dibenarkan sikap pro-kontra yang
bernada kemutlakan mutlakan.[56]
Bahkan lebih dari itu Nurcholish Madjid melihat,dengan keberadaan organisasi
tarekat dan para pembimbingnya
itu,tasawuf dapat tercegah dari kemungkinan mengalami gerakan
sentripetal sehingga menimbulkan kesaesatan yang tidak dikehendaki, karena
adanya pembimbing itu.[57]
Dapat
diperkirakan masa depan tarekat di tengah-tengah masyarkat masa kini? Menurut
Nurcholish Madjid,karena kebutuhan keruhanian merupakan kenyatan esensial
tentang kemanusiaan,yang menurut al-Qur’an merupakn kelajutan perjanjian
primodial manusia dengan Tuhan,maka masa depan tarekat ,atau lebih umum lagi
tasawuf itu,akan dengan sendrinya sangat
bergantung kepada “ sebebrapa jauh ia mampu menyediakan jawaban-jawaban
spiritual bagi kebutuhan manusia modern sekarang adalah manusia yang
krits,serba rasional dan bergandengan dengan itu,cendrung lebih berpikir
menurut kerangka pandangan yang menekakan maslah fungsional dan subtansial.
Karena itu tarekat sebagai suatu bentuk
mata air kerohanian,mungkin akan mengalami “ perubahan” segi-segi
lahiriyah,misalnya maslah pengorganisasian dan struktur hubungan fungsional
antara,mursyid dan murid, Namun,kata Nurcholish Madjid,hampir dapat dipastikan
bahwa inti ajaran keruhaniannya akan tetap bertahan,dalam satu dan lain bentuk.[58]
Karena
bidang garapan tasawuf itu berada dalam inti keagmaan yaitu kesadaran keagamaan
( religuitas ) yang melahirkan masyarakat etis atau akhlaqi,maka
pengembangan,khususnya bagi generasi muda,terkait dengan problem metodik
didaktif. Nurcholish Madjid melontarkan kritik terhadap metode didaktif yang
ada semalam ini. Adalah kenyataan,katanya bahwa pengajaran agama di lembaga-lembaga
pendidikan kita umumnya didominasi oleh orientasi lahiriyah fiqih dan
kalam,yakni segi-segi eksoteris.karena dominasi fiqih anak-anak lebih paham
misalnya,syarat dan rukun bagi sah tidaknya shalat,tanpa dengan mantap mengetahui
apa sesungguhnya makna shalat itu bagi pembentukan diri pribadinya,lahir dan batin. Dan karena dominasi Kalam,ia lebih
mampu bagaiman membuktikan bahwa Tuhan ada,tanpa memiliki keinsyafan yang cukup
mendalam tentng apa makna kehadiaran (
rasa ketuhanan dalam kalbu ) itu dalam hidup ini[59]
Maka
dalam masalah metoddik-didaktik ini,harus ditemukam kata Nurcholish Madjid,cara
bagaimana untuk menyandarkan anak didik akan makna ibadat-ibadat lahiriyah,dan
apa yang sebenarnya diharapakan dari ibadat-ibadat itu bagi,mutu dan kemapuaan
tenaga pengajar itu sendiri menjadi sangat menentukan.
Karena
itu Nurcholish Madjid mengusulkan adanya kemungkinan penjenjangan pendidikan
atau pengajaran tasawuf di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah. Sesuai
dengan perkembagan,untuk anak didik tingkat ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, yang
jelas diperlukan ialah pengetahuan tentang pokok-pokok agama seperti Rukun
Islam dan Rukun Iman,serta kemampuan untuk melaksanakan secara benar ibadat
sehari-sehari. Namun janganlah dibiarkan tumbuh dengan orientasi lahiriyah
semat. Maka penting sekali ditanamkan rasa keikhlasan dalam ibadat dan dalam
perbuatan yang lain..Ditanamkan sedini mungkin penghayatan akan arit dan
makna-makna bacaan dalam shalat. Juga harus disadarkan bahwa shalat adalah
peristiwa yang amat penting bagi dirinya, karena merupakan kesmpatamn ber-
tawajuh dengan Tuhan. inilh bibit keikhlasan,dan pangkal tolak akhlaq yang
mulia,karnena hal itu akan menumbuhkan sikap hidup yang meliputi oleh semangat
kehadiran dan pengawasan Tuhan dalam hidup ini.[60]
Pada
jenjang tingkat Tsanawiyah tidak jauh berbeda dengan perkembangan tingkat
Ibtidaiyah,tapi mungkin pendidikan tasawuf dan akhlak ini sudah harus mulai
dikembabgkan dengan memperkenalkan kosep-konsep keagamaan atau tasawuf yang
mengarah kepada pembentukan pribadi yang kuat seperti,selsin ikhlas,adalah
sabar,tawakal,inabah,khuaf dan raja,taubat taqarrub,azam,pemaaf,toleran,ramah
dan seterusnya kutipan kutipan dari al- qur’an yang menerangkan tentangkualitas
orang-orang yang beriman tersbut.[61]
Karena
sistem pendidikan selalu berada dalam suatu kontinuitas yang tak
terputus-putus,maka pada jenjang Aliyah pun pendidikan tasawuf atau akhlak
harus merupakan kelajutan wajar yang ada sebelumnya.pengembangan lebih
lanjutnya adalah bertitk tolak dari penanaman akan pemahaman tentang makna,
nama-nama indah ( al –Asma al Husna ) daru tuhan dengan tujuan
memberikan penyadaran dan petunjuk bagimana mempersepsikan Tuhan secara
benar,karena persepsi manusia terhadap-Nya bisa tidak seimbang ( tidak utuh
),yang biasanya amat terpengaruh oleh pengalaman hidup manusia itu sendiri.
Karena
itu para sufi sering mengemukakan perlunya meniru kualitas Tuhan atau meniru
ahklak Tuhan ( thakhalluqu bi akhlaqi Illah ).juga sesuai dengan
kemapuan kognitifnya, dapat mulai diperlenalkan kepada para murid secara garis
besar sejarah tumbuhnya tasawuf,dengan para tokoh-tokohnya dan berbagai aliran
tarekat-nya.[62]
Jadi
jelas dalam pandangan Nurcholish Madjid bahwa akhlaq ini harus diajarkan kepada
anak didik Muslim sebagai dimensi kedalaman keagamaan yang dapat saja teracam
hilang karena dominasi segi-segi lahiriyah dalam beragama. Dengan demikian
Nurcholish Madjid secara gaeis besar menghendaki adanya integrasi antara iman,
ibadah,amal soleh, dan akhlak secara utuh. Integrasi keempat unsure itu secara utuh,tidak terpisah dalam pendekatan tasawuf.
Sebab ilmu kalam hanya bicara iman,fiqih hanya bicara ibadah dan
muamalah,sedangkan tasawuf mengintegrasikan semuanya secara utuh. Karena itu
menurut Sudirman Tebba, Integrasi kempat unsure itu secara utuh,yang melandasi
selama ini pemikiran keagamaan dan sosial –politik Nurcholish Madjid
,menunjukan betapa kuaatnya landasan sufistik dalam pemikiranya[63]
Butir-
butir pemikiran Nurcholish Madjid diatas sangat relevan dengan tantangan
kehidupan keagamaan di masa depan yang haus akan dimensi spiritual,sejauh
sufisme mampu menyediakan jawaban-jawabab kebutuhan manusia modern.
Semabil
mengutip pendapat H.A.R Gibb bahwa ada dua golongan yang menolak sufisme
dengnan titik tolak yang berbeda yaitu, modernis- skularis kaum Kemalis di
Turki dan purirtansisme ortodoks pada kaum Wahabi di Saudi Arabia Nurcholish
Madjid mengatakan barangkli memang benar tuduhan bahwa Tasawuf pernah menyebab
kaum muslim mundur,tetapi barangkali patut diperhatikan seruan Gibb untuk menelaah
kembali kemungkinan keringnya rasa keagamaan yang mendalam,yang bakal diderita
kaum muslimin sendiri dan umat dan umat manusia karena kekakuan puritanisme
kaum reformis dan kesembronoaan modernis kaum skularis. Karena itu menurut
Nurcholish Madjid hal strategis yang dapat dilakukan pada saat ini adalah
meninjau kembali segi-segi kebaikanya ,dan kekuatan tasawuf itu sendiri serta
meneliti segi-segi kelemahannya,ditambah lagi yang sangat diperlukan,yaitu
peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya[64]
Dan
dengan tasawuf itu pula kata Nurcholish Madjid Islam dapat dikembangkan sebagai
agama terbuka untuk menjawab tentang zaman,problem kemanusiaan universal,karena
Islam adalah Humanisme terbuka[65]
Walaupun
sufisme bukan merupakan tema-tema sentral karya- karya Nurcholish Madjid,namun
dengan memperhatikan gagasan-gagasanya untuk membangun suatu “ peradaban
Islam”yang khasyang berakar kuat pada tradisi Islam,lebih-lebih dengan
memperhatikan apresiasinya yang luar biasa terhadap tasawuf yang tak lagi,maka
Azyumardi Azra berargumen bahwa Nurcholish Madjid tidak lagi terlalu tepat
dimasukan kedalam tipologi sebagai pemikir “ neo Modernis” tetapi mungkin lebih
sebagai pemikir “ Neo Tradisonali”
karena kini ia lebih tampil sebagai salah seorang gigih ( fervent defender
) Islam sebagimana telah dimpormasikannya,di antaranya di bidang sufisme[66]
Daftar Pustaka
Barton Greg,
Gagasan Islam Liberal di Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme Nurkhalish
Madjid,Djohan Efendi, Ahmad Wahib,dan Abdurrahman Wahid, terj.Nanang
Tahqiq, Jakarta: Paramadina,1999 .
Madjid, Nurcholish “Negara Islam: Produk Isu Modern”, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer,Jakarta:
Paramadina,1998 .
Madjid, Nurcholish .” Rindu Kehidupan Zaman Masyumi” Wawancara Ahmad Me
Lihat Tuisannya,” Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam
Nurchalish Madjid,Islam Komponen,dan Keindonesiaan Bandung: Penerbit Mizan,1988
.
Majalah Amanah, penilaian terhadap pemikrannya
sebagai “ Modernis Konsevasif dalam artikelnya,Modernisasi ialah
Rasionalisasi Bukan Westerinsasi” pada tahun 1968.uzani,
Komaruddin Hidayat,”Kata Pengantar
“,Dalam Nurchalish Madjid,Islam Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam Dalam Sejarah, Jakarta Paramadina,1995
Madjid,
Nurkholish “
Relevansi Kesufian Buya Hamka bagi Kehidupan Keagamaan di Indonesia dalam
Nurkhalish Madjid,Tradsi Islam : Peran dan pungsinya dalam pembanguan di Indonesia, Jakarta:
Paramadina,1997 .
Tebba,Sudirman Orientasi Sufistik Cak Nur
: Komitmen Moral Sang Guru Bangsa, Jakarta
: Paramadina,2004
Nurcholish Madjid “ Pengantar : Problem
Tasawuf sebagai Ungkapan Rasa Keagamaan” dalam,Idris Shahm,meraba Gajah Dalam
Gelap : Sebuah Upaya Dialog Islam Kristen, terj. Tim Grafiti Press Jakarta : PT Grafitisi
Press,1986
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren :
sebuah Potret Perjalanan, Jakarta
: Paramadina,1997
[1]
Lihat,Greg Barton,Gagasan Islam Liberal di Indonesia : Pemikiran
Neo-Modernisme Nurkhalish Madjid,Djohan Efendi, Ahmad Wahib,dan Abdurrahman
Wahid, terj.Nanang Tahqiq,( Jakarta: Paramadina,1999 ),hal 72-74.
[2]
Ibid,hal.73.
[3]
Lihat Nurchalish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern”, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer,( Jakarta: Paramadina,1998 ),hal.161-162.
[4]
Nurchalish Madjid.” Rindu Kehidupan
Zaman Masyumi” Wawancara Ahmad Muzani, Dari Majalah Amanah,hal.210
[5]
Ibid,211
[6]
Ibid, hal 212.
[8]
Lihat, Komaruddin Hidayat,”Kata Pengantar “,Dalam Nurchalish
Madjid,Islam Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam
Sejarah,( Jakarta Paramadina,1995,) hal xii-xiii
[9]
Ibid ,hal vi- vii,Sebagai bukti kekeguman tersebut lihat juga tulisan
Nurkhalish Madjid “ Relevansi Kesufian Buya Hamka bagi Kehidupan Keagamaan di
Indonesia dalam Nurkhalish Madjid,Tradsi Islam : Peran dan pungsinya dalam
pembanguan di Indonesia,(
Jakarta: Paramadina,1997),hal123-132.
[10]
Lihat,Greg Barton, Op, Cit,hal 78.
[11]
Lihat Tuisannya,” Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam
Nurchalish Madjid,Islam Komponen,dan Keindonesiaan,( Bandung: Penerbit
Mizan,1988 ),hal 204-214.
[12]
Hal ini Di ksitksn dengan penilaian terhadap pemikrannya sebagai “ Modernis
Konsevasif dalam artikelnya,Modernisasi ialah Rasionalisasi Bukan
Westerinsasi” pada tahun 1968,lihat,ibid, hal 172-203.
[13]
Nurchalish Madjid, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat, Op Cit,hal.204-205.
[14]
Ibid, hal.212.
[15]
Ibid,hal 206.
[16]
Ibid,hal 206
[17] Ibid
hal 207.
[18] Ibid,
hal 209.
[19] Ibid
hal 210-211.
[20] Lihat,
Greg Barton, Op. Cit, hal 83-84.
[21] Nurchalish Madjid sendiri yang memilih nama Paramadina ini.
Nama ini disusun menurut pengertianya,yang diambil dari bahasa Latin, “Para”
yang berati Unggul atau bermutu tinggi dan digabungkan dengan kata arab
“Madina” yang berarti kota dan secara lebih luas berarti Peradaban
[22]
Nurchalish Madjid sering menyebut
Paramadina merupakan “ Human investement” yang bersifat jangka panjang dengan
prediksi yang akan dicapai adalah demokratisasi dalam konteks keindonesiaan.
Lihat , Nurchalish Madjid ,Paramadina dan Investasi
Kemanusiaan,Wawancara Heri Akhamadi dari Harian Jawa Pos,dalam, , Nurchalish Madjid,Dialog keterbukaan. Op.
Cit.hal,309-310.
[23]
Menanggapi tuduhan bahwa dia secara individual dan Paramadina secara
kelembagaan bersifat elitis, Nurchalish
Madjid mengatkan, bahwa elitesime itu
bukan idiologi melainkan metodologi. Dasar pikirannya adalah masyarkat selalu
berbentuk krucut,dan semua harus digarap
sebagai obyek dakwah,selama ini sasaran dakwah hanya kelas menengah kebawah,
masih ada segmen masyarakat yang terabaikan. Dan dari sudut ilmu sosial,
Masyakat tidak pernah ditentukan mayoritas,melainkan, melaiankan kelompok kecil
yang berkualitas,maka kami menggunakan itu,yaitu mencari titk yang paling
strategis,menggarap kelompok trend, makers, atau kalau bisa decisiaon makers.
Lihat ,Nurchalish Madjid “ Antara Umat
jangan saling Menggeneralisasi “ wawancara Muarif dari Harian Republika,dalam ,
Nurchalish Madjid , Dialog
Keterbukan,Ibid,hal 329.
[24]
Study yang dilakukan untuk tesis cukup banyak untuk disebutkan,sedangkan untuk
disertasi antara lain oleh Kamal Hasan
di Colombia University, tentang “ Indonesia
Muslim Intellectual Responses to the Issue of Modernization” Lalu
diikuti oleh Victor Tanja,tentang Hmi,dan Greg
Barton dari Monash University,Australia,Study Terbaru dilakukan oleh
Masykuri Abdillah dari Universitas Hambung dengan judul “ Responses of Indonesia Muslim Intellectual to The Concept
of Democracy ( 1966-1993 )
[25] Lihat,
Komaruddin Hidayat,Op. Cit,hal viii.
[26] Lihat
Fachy Ali, hal xxii.
[27] Ibid
hal xxii
[28]
Azyumardi Azra,Cak Nur : Neo Modernis atau Tradisonalis ? dalam menuju
Masyarakat Madani: Gagasan,fakta dan Tantagan,( Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002.hal.155-157.
[29]
Syu’bah Asa, Nurcholish, Hari Baik Untuk Mati,Maaajalah Tempo,11
September 2005,hal 101.
[30]
Lihat Nurcholish Madjid,”Sastra Sufistik Sebagai Eskalasi Kesadarn”Wawancara
M.Nasrudin Anshory Ch. Dari Majalah Harison,dalam Nurcholish Madjid,Dialog
keterbukaan,Op Cit,hal 320.
[31]
Nurcholish Madjid “ Tasawuf sebagai inti
Keberagamaan” dalam Majalah Pesantren,No.3/vol.II/ 1985,hal.3.
[32]
Nurcholish Madjid, Masyarakat Relegius,( Jakarta: Paramadina,1997
),hal139.
[33]
Lihat Nurcholish Madjid,Islam Dortin
dan Peradaban: sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,Kemanusiaan dan
kemoderenan,( Jakarta:
Paramadina.1992 ),hal255.
[34] Nurcholish
Madjid, “Tasawuf sebagai Inti
Keberagamaan” Op. Cit hal 3
[35] Lihat
Nurcholish Madjid “ Pengantar : Problem Tasawuf sebagai Ungkapan Rasa
Keagamaan” dalam,Idris Shahm,meraba Gajah Dalam Gelap : Sebuah Upaya Dialog
Islam Kristen, terj. Tim Grafiti Press ( Jakarta : PT Grafitisi Press,1986
),hal x
[36] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren :
sebuah Potret Perjalanan,( Jakarta : Paramadina,1997),hal 45.
[37] Lihat Nurcholish Madjid “ Problem Tasawuf sebagai
Ungkapan Rasa Keagamaan” OP. Cit
hal,xii-xiii
[38] Ibid
hal 47
[39] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,Op.
Cit, hal256
[40] Lihat,
Nurcholish Madjid,”Tasawuf Sebagai Inti
Keberagamaan” Op. Cit,hal 4.
[41] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,Op Cit hal 259-260.
[42] Lihat,
Nurcholish Madjid “ Taswuf Sebagai Inti Keberaagamaan” Op Cit,hal 4-5
[43] Lihat,
Nurcholish Madjid “Negara Islam: Produk Isu Modern” Wawancara Sudirman Tebba
dari Harian Kompas,dalam Nurcholish
Madjid, Diaog Keterbukaan, Op Cit hal 160.
[44] Nurcholish
Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban,Op Cit hal 260
[45] Ibid,
hal 261-262
[46] Nurcholish
Madjid “ Taswuf Sebagai Inti Keberaagamaan” Op Cit,hal 11
[47] Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, hal 50
[48] Menurut
Norcholish Madjid dengan adanya proses
individuation dalam agama,maka sebetulnya kita tidak bisa mempersepsi dengan
pengalaman orang lain,karena sifatnnya
Unik “ Individuation,adalah keunikan dari macam-macam pribadi pengalaman keagamaanyan sendiri, berbeda
dengan “ individualization” jargon yang ada di Barat,yang mengandung pernyataan bahwa agama adalah
urusan pribadi .Lihat Nurchalish Madjid “ Ibn Arabi dan Taswuf “ dalam sukardi
( ED) Kuliah-kuliah Tasawuf,( Bandung : Pustaka Hidayah 2000 )hal 126.
[49] Nurcholish
Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban,Op Cit,hal 264
[50] Ibid
,hal 265.
[51] Nurcholish
Madjid “ Taswuf Sebagai Inti Keberaagamaan” Op Cit,hal 6
[52] Nurcholish
Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban,Op Cit,hal 103
[53] Ibid,
hal 94-95.
[54]
Ibid ,hal 103
[55] Nurcholish
Madjid “ Taswuf Sebagai Inti Keberaagamaan” Op Cit,hal 9
[56] Nurcholish
Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban,Op Cit,hal 115
[57] Lihat
,ibid ,hal 113
[58] Lihat
,ibid,hal 117-118
[59] Nurcholish
Madjid,Masyarakat Religius,Op Cit, hal 141
[60] Ibid
,hal 143.
[61] Ibid
hal,144
[62] Ibid
,hal 145
[63] Sudirman
Tebba,Orientasi Sufistik Cak Nur : Komitmen Moral Sang Guru Bangsa,( Jakarta : Paramadina,2004
),hal4-5.
[64] Lihat
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Op, Cit hal 70-71
[65]
Nurcholish Madjid,Islam Agama Kemanusiaan,Op Cit hal 155
[66]
Lihat,Azyumardi Azra, Cak Nur: Neo –Modernis atau Tradisioanlis’ Dalam
Menuju Masyarakat Madani,Op. Cit,hal 157-159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar