Kamis, 12 Juli 2012

PANDANGAN EKONOMI BUDHA


PANDANGAN EKONOMI BUDHA

MAKALAH
Disampikan Dalam Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Spritualitas Agama-Agama di Dunia


DOSEN PENGASUH
DR.MUJIBURRAHMAN, MA


OLEH:
M.ARIF HAKIM
NIM:O902010491


                                    






INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARAJANA
PROGRAM STUDI FILSAFAT ISLAM
KONSENTRASI  ILMU TASAWUF
BANJARMASIN
2011 M/1432 H


PANDANGAN EKONOMI BUDHA
         
          Tulisan yang ditulis oleh E.F.Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful ini diterbitkan oleh Harper & Row Publisher, New York, tahun 1973 dan juga pernah dimuat dalam Resurgence, Journal of the Fourth World, Vol.II, No.3, tahun 1968. Tulisan yang diambil dari beberapa kutipan oleh Schumacher ini didasarkan pada suatu ceramah dengan judul “Buddhist Economics” di London pada tahun 1968. Berikut review terhadap tulisan ini.
          Setiap agama menganjurkan kepada pemeluknya agar hidup layak dan terhormat begitu juga dalam agama Budha. “Peri kehidupan yang layak” merupakan salah satu tuntunan delapan jalan suci ajaran Budha. Dengan demikan, suatu pandangan  ekonomi menurut ajaran Budha, memang jelas ada.
            Negara–negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Budha   menyatakan bahwa mereka akan tetap setia kepada warisan kebudayaanya. Birma misalnya, menyatakan: “Birma yang baru tidak melihat adanya konflik antara nilai-nilai keagamaan dan kemajuan ekonomi. Kesejahteraan spiritual dan kekayaan materiil sesungguhnya tidak saling bertentangan; sebaliknya keduanya justra saling menopang.” Suatu pernyataan lain berbunyi demikian: Kita dapat berhasil memadukan nilai-nilai keagamaan dan spiritual yang merupakan warisan kebudayaan kita dapat dengan manfaat teknologi modern.” Atau lagi: “kita  bangsa Birma memikul tugas suci untuk menyesuaikan cita-cita serta tindakan dengan kepercyaan dan iman kita. Dan ini akan terus kita lakukan”.
            Para ahli ekonomi, seperti kebanyakan spesialis lainnya, menderita kebutaan metafisik dan mengira bahwa ilmu mereka merupakan kebenaran yang tidak bisa ditawar, sama sekali tanpa praduga di dalamnya. Beberapa di antaranya malahan beranggapan bahwa hokum-hukum ekonomi sama sekali tidak bersangkut paut dengan metafisika ataupun nilai-nilai, persis seperti halnya hukum gaya berat.
            Ada suatu kesepakatan universal bahwa sumber kemakmuran yang fundamental adalah kerja manusia. Kini, ahli ekonomi modern telah terbawa kepada anggapan bahwa kerja manusia itu tak lebih dari sekadar keburukan yang diperlukan. Dari sudut pandang majikan, kerja dalam hal apapun adalah suatu pos biaya yang harus dikurangi sampai pada tingkat minimum, kalau perlu dihilangkan sama sekali, misalnya dengan otomatisasi. Dari sudut pandang seorang karyawan, kerja merupakan penyerapan daya guna, suatu pengorbanan atas kesenangan dan keenakan seseorang, sedang upah adalah sekedar kompensasi untuk pengorbanan itu. Jadi yang ideal bagi seorang majikan adalah bagaimana menghasilkan output tanpa tenaga kerja, sedangkan bagi karyawan adalah bagaimana memperoleh pendapatan tanpa bekerja.
          Dalam pandangan umat Budha, fungsi kerja  paling sedikit  menyangkut tiga segi: 1. untuk memberikan kesempatan kepada manusia memanfaatkan dan mengembangkan kemampuannya; 2. memungkinkan manusia mengatasi kecenderungan “egosentris”-nya dengan ikut serta bersama orang-orang lain dalam suatu tugas bersama; 3. untuk menghasilakan barang  atau jasa yang diperlukan bagi suatu kehidupan. Mengejar kesenangan dengan melalaikan kerja, akan dinilai sebagai kurang pengertian terhadap salah satu kebenaran dasar dari eksistensi manusia. Kerja dan kesenangan adalah dua bagian yang saling melengkapi dalam proses kehidupan, yang tak dapat dipisahkan tanpa merusak kegairahan kerja itu sendiri maupun kesenangan atau bersantai-santai.
            Dari sudut pandangan Budhis, ada dua tipe mekanisasi yang harus dibedakan secara jelas: 1.Mekanisasi yang menambah keahlian dan kesanggupan manusia, dan
2. mekanisasi yang mengubah kerja manusia menjadi budak mesin dan menempatkan manusia dalam kedudukan harus melayani budak itu. Pandangan ekonomi Budha amat berbeda dari pandangan ekonomi materialis modern, karena ajaran Budha memandang hakikat peradaban tidak dalam pelipatgandaan kebutuhan, tetapi dalam pemurnian karakter manusia. Sedang karakter itu sendiri ditentukan pertama-tama oleh kerja manusia. Kerja yang dilakukan secara wajar menurut kondisi harkat dan kebebasan manusia akan memberkahi orang yang melakukannya maupun hasil produksinya.
            Kalau seorang manusia tidak berkesempaatan memperoleh kerja, ia akan berada dalam keputusasaan, tidak saja karena ia tidak mempunyai sumber pendapatan, tetapi juga karena ia tidak lagi memiliki faktor- faktor yang memberi santapan batin dan gairah hidup, yang berasal dari kerja yang teratur. Ini tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang lain. Seorang ahli ekonomi modern mungkin dapat membuat kalkulasi yang rumit tentang apakah kesempatan kerja penuh (full employment ) akan membawa hasil yang lebih baik, ataukah akan lebih ekonomis menyelenggarakan suatu perekonomian di bawah tingkat kesempatan kerja penuh guna menjamin mobilitas tenga kerja, stabilitas upah yang lebih baik dan lain sebagainya. Baginya kriteria dasar dari suatu sukses ekonomi semata-mata didasarkan atas jumlah barang yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu.
            Dari segi pandangan Budhis, ini merupakan pemutarbalikan kebenaran, karena menilai benda lebih penting dari pada manusia dan menganggap konsumsi lebih penting daripada aktivitas yang kreatif. Ini berarti pergeseran titik berat dari pekerja kepada hasil kerjanya, dari yang manusiawi kepada yang “di bawah manusiawi” (sub- Human), suatu penyerahan kepada kekuasaan kejahatan.
Sementara kaum materialis terutama sekali tertarik akan barang-barang, umat Budha lebih tertarik akan pembebasan. Tetapi Budhisme adalah suatu ajaran “Jalan Tengah“ dan karenanya tidak pernah bertentangan dengan kesejahtraan fisik. Bukanlah kemakmuran yang menghalangi jalan ke arah pembebasan manusia, tetapi sikap yang terlalu mendambakan kemakmuran itu; bukannya kebahagiaan dalam  menikmati hal-hal yang menyenangkan tetapi kegandrungan kepadanya. Kunci ekonomi Budhis, karenanya, terletak dalam kesederhanaan dan tidak adanya kekerasan (simplicity and non violence). Dari sudut pandangan seorang ahli ekonomi, keajaiban cara hidup Budhis terletak dalam polanya yang sama sekali rasional, dengan cara dan sarana yang sangat sederhana, secara mengagumkan membawa hasil-hasil yang memuaskan.
          Bagi seorang ahli ekonomi modern mengukur taraf hidup itu dari jumlah konsumsi per tahun, dengan anggapan bahwa seseorang yang mengkonsumer lebih banyak adalah “lebih makmur“ daripada orang yang melakukan konsumsi sedikit. Seorang ahli ekonomi budha akan menilai pendekatan ini sebagai tidak rasional karena konsumsi adalah  sekadar sarana untuk kesejahteraan manusia. Maka  yang menjadi tujuan adalah baagimana mencapai tingkat maksimal dengan konsumsi minimal.
            Dipihak lain, ekonomi modern menganggap konsumsi sebagai satu-satunya maksud dan tujuan semua kegiatan perekonomian, dengan menggunakan faktor-faktor produksi—tanah, kerja dan modal—sebagai sarana. Ekonomi Budha, ringkasnya, berusaha mencapai kepuasan manusiawi yang maksimal dengan pola konsumsi yang optimal, semetara ekonomi modern berusaha mencapai tingkat konsumsi maksimal dengan pola produksi yang optimal.
          Adalah jelas bahwa kesederhanaan dan tiadanya kekerasan merupakan dua hal yang saling kait-mengait. Pola konsumsi yang optimal, untuk mencpai tingkat kepuasan manusiawi yang tinggi melalui tingkat konsumsi yang relatif rendah, memungkinkan orang untuk hidup tanpa rasa tertekan dan tanpa ketegangan  untuk memenuhi amanat pertama dari ajaran Budha: ”Berhentilah dari berbuat jahat, dan berusahalah berbuat baik”. Berhubung sumber-sumber alam dimana-mana terbatas, maka cara memenuhi kebutuhan dengan  penggunaan sumber-sumber itu secara sederhana akan mengurangi kecendrungan untuk saling berebut seperti yang terjadi pada tingkat pengguaan sumber-sumber secara berlebihan. Begitu pula orang yang hidup dalam masyarakat suatu daerah yang cukup mampu memenuhi kebutuhanya sendiri (self sufficient) tidak akan banyak terlibat dalam penggunaan kekerasan secara luas seperti halnya mereka yang tergantung pada sistem-sistem perdagangan dunia.
             Ajaran Budha memerintahkan agar orang bersikap hormat dan tidak menggunakan kekerasan, bukan saja terhadap makhluk- makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan, setiap pemeluk agama Budha wajib menanam  sebatang pohon pada tiap beberapa tahun dan memeliharanya samapai sampai pohon itu cukup kuat untuk tumbuh sendiri. Seorang ahli ekonomi Budha tak akan mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa ketaatan yang universal terhadap aturan ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sehat, bebas dari bantuan dari luar.
          Pertanyaan yang timbul adalah apakah “modernisasi” sebagaimana dipraktekkan sekarang ini, yang tidak mempedulikan nilai-nilai keagamaan dan spiritual dalam kenyataanya akan sanggup membawa hasil yang diharapakan, sebab sepanjang yang menyangkut massa, hasil modernisasi itu justru  membawa bencana dan kehancuran perekonomian desa, meningkatnya golongan pengangguran di desa maupun di kota dan berkembangnya proletariat kota yang menderita kekurangan makan, baik secara fisik maupun  spiritual.
Berdasarkan pengalaman langsung maupun prospek jangka panjang inilah maka mengkaji tentang ekonomi Budha itu patut disarankan bahkan perlu dipelajari oleh mereka yang menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai suatu hal yang lebih penting daripada nilai-nilai keagamaan dan spiritual.
            Demikian tulisan tersebut memberikan banyak gambaran tentang ekonomi modern dan mungkin kapitalis dengan ekonomi yang diback-up ajaran agama. Pada dasarnya, ajaran kebaikan, kejujuran, kesungguhan, kegigihan, dan hal-hal yang berpegang pada prinsip-prisnsip kebenaran adalah ajaran setiap agama itu sendiri. Begitu juga konsep ekonomi yang ditulis oleh E.F.Schumacher ini tentang ekonomi yang berdasarkan ajaran Budha bukanlah suatu sistem yang seperti ada pada sistem kapitalis. Seseorang  bisa saja merasa tenang dengan materi yang dia punya tetapi tidak setiap orang bisa tenang hati dan batinnya. Pentingnya dunia materi dan spiritualitas dalam kehidupan Budha tidak lain menurut Dennis Lardner Carmody & John Tully Carmody dalam bukunya In The Path of The Masters (2000: 70) adalah menjadikan keduanya cantik dan indah.

1 komentar: