PANDANGAN EKONOMI BUDHA
MAKALAH
Disampikan Dalam Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Spritualitas Agama-Agama di Dunia
DOSEN PENGASUH
DR.MUJIBURRAHMAN, MA
OLEH:
M.ARIF HAKIM
NIM:O902010491
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARAJANA
PROGRAM STUDI FILSAFAT ISLAM
KONSENTRASI
ILMU TASAWUF
BANJARMASIN
2011 M/1432 H
PANDANGAN EKONOMI BUDHA
Tulisan
yang ditulis oleh E.F.Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful ini diterbitkan oleh Harper & Row Publisher,
New York, tahun 1973 dan juga pernah dimuat dalam Resurgence, Journal of the Fourth World, Vol.II, No.3, tahun 1968.
Tulisan yang diambil dari beberapa kutipan oleh Schumacher ini didasarkan pada
suatu ceramah dengan judul “Buddhist Economics” di London pada tahun 1968.
Berikut review terhadap tulisan ini.
Setiap
agama menganjurkan kepada pemeluknya agar hidup layak dan terhormat begitu juga
dalam agama Budha. “Peri kehidupan yang layak” merupakan salah satu tuntunan
delapan jalan suci ajaran Budha. Dengan demikan, suatu pandangan ekonomi menurut ajaran Budha, memang jelas
ada.
Negara–negara yang sebagian besar
penduduknya memeluk agama Budha menyatakan bahwa mereka akan tetap setia
kepada warisan kebudayaanya. Birma misalnya, menyatakan: “Birma yang baru tidak
melihat adanya konflik antara nilai-nilai keagamaan dan kemajuan ekonomi.
Kesejahteraan spiritual dan kekayaan materiil sesungguhnya tidak saling
bertentangan; sebaliknya keduanya justra saling menopang.” Suatu pernyataan
lain berbunyi demikian: Kita dapat berhasil memadukan nilai-nilai keagamaan dan
spiritual yang merupakan warisan kebudayaan kita dapat dengan manfaat teknologi
modern.” Atau lagi: “kita bangsa Birma
memikul tugas suci untuk menyesuaikan cita-cita serta tindakan dengan
kepercyaan dan iman kita. Dan ini akan terus kita lakukan”.
Para ahli ekonomi, seperti
kebanyakan spesialis lainnya, menderita kebutaan metafisik dan mengira bahwa ilmu
mereka merupakan kebenaran yang tidak bisa ditawar, sama sekali tanpa praduga
di dalamnya. Beberapa di antaranya malahan beranggapan bahwa hokum-hukum
ekonomi sama sekali tidak bersangkut paut dengan metafisika ataupun
nilai-nilai, persis seperti halnya hukum gaya berat.
Ada suatu kesepakatan universal
bahwa sumber kemakmuran yang fundamental adalah kerja manusia. Kini, ahli
ekonomi modern telah terbawa kepada anggapan bahwa kerja manusia itu tak lebih
dari sekadar keburukan yang diperlukan. Dari sudut pandang majikan, kerja dalam
hal apapun adalah suatu pos biaya yang harus dikurangi sampai pada tingkat
minimum, kalau perlu dihilangkan sama sekali, misalnya dengan otomatisasi. Dari
sudut pandang seorang karyawan, kerja merupakan penyerapan daya guna, suatu
pengorbanan atas kesenangan dan keenakan seseorang, sedang upah adalah sekedar kompensasi
untuk pengorbanan itu. Jadi yang ideal bagi seorang majikan adalah bagaimana
menghasilkan output tanpa tenaga
kerja, sedangkan bagi karyawan adalah bagaimana memperoleh pendapatan tanpa
bekerja.
Dalam
pandangan umat Budha, fungsi kerja
paling sedikit menyangkut tiga segi:
1. untuk memberikan kesempatan kepada manusia memanfaatkan dan mengembangkan
kemampuannya; 2. memungkinkan manusia mengatasi kecenderungan “egosentris”-nya dengan
ikut serta bersama orang-orang lain dalam suatu tugas bersama; 3. untuk
menghasilakan barang atau jasa yang diperlukan
bagi suatu kehidupan. Mengejar kesenangan dengan melalaikan kerja, akan dinilai
sebagai kurang pengertian terhadap salah satu kebenaran dasar dari eksistensi
manusia. Kerja dan kesenangan adalah dua bagian yang saling melengkapi dalam
proses kehidupan, yang tak dapat dipisahkan tanpa merusak kegairahan kerja itu
sendiri maupun kesenangan atau bersantai-santai.
Dari sudut pandangan Budhis, ada dua
tipe mekanisasi yang harus dibedakan secara jelas: 1.Mekanisasi yang menambah
keahlian dan kesanggupan manusia, dan
2. mekanisasi
yang mengubah kerja manusia menjadi budak mesin dan menempatkan manusia dalam
kedudukan harus melayani budak itu. Pandangan ekonomi Budha amat berbeda dari
pandangan ekonomi materialis modern, karena ajaran Budha memandang hakikat
peradaban tidak dalam pelipatgandaan kebutuhan, tetapi dalam pemurnian karakter
manusia. Sedang karakter itu sendiri ditentukan pertama-tama oleh kerja
manusia. Kerja yang dilakukan secara wajar menurut kondisi harkat dan kebebasan
manusia akan memberkahi orang yang melakukannya maupun hasil produksinya.
Kalau seorang manusia tidak
berkesempaatan memperoleh kerja, ia akan berada dalam keputusasaan, tidak saja
karena ia tidak mempunyai sumber pendapatan, tetapi juga karena ia tidak lagi
memiliki faktor- faktor yang memberi santapan batin dan gairah hidup, yang
berasal dari kerja yang teratur. Ini tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang
lain. Seorang ahli ekonomi modern mungkin dapat membuat kalkulasi yang rumit
tentang apakah kesempatan kerja penuh (full employment ) akan membawa
hasil yang lebih baik, ataukah akan lebih ekonomis menyelenggarakan suatu
perekonomian di bawah tingkat kesempatan kerja penuh guna menjamin mobilitas
tenga kerja, stabilitas upah yang lebih baik dan lain sebagainya. Baginya kriteria
dasar dari suatu sukses ekonomi semata-mata didasarkan atas jumlah barang yang
dihasilkan dalam suatu periode tertentu.
Dari segi pandangan Budhis, ini
merupakan pemutarbalikan kebenaran, karena menilai benda lebih penting dari
pada manusia dan menganggap konsumsi lebih penting daripada aktivitas yang
kreatif. Ini berarti pergeseran titik berat dari pekerja kepada hasil kerjanya,
dari yang manusiawi kepada yang “di bawah manusiawi” (sub- Human), suatu
penyerahan kepada kekuasaan kejahatan.
Sementara
kaum materialis terutama sekali tertarik akan barang-barang, umat Budha lebih
tertarik akan pembebasan. Tetapi Budhisme adalah suatu ajaran “Jalan Tengah“
dan karenanya tidak pernah bertentangan dengan kesejahtraan fisik. Bukanlah
kemakmuran yang menghalangi jalan ke arah pembebasan manusia, tetapi sikap yang
terlalu mendambakan kemakmuran itu; bukannya kebahagiaan dalam menikmati hal-hal yang menyenangkan tetapi
kegandrungan kepadanya. Kunci ekonomi Budhis, karenanya, terletak dalam
kesederhanaan dan tidak adanya kekerasan (simplicity and non violence).
Dari sudut pandangan seorang ahli ekonomi, keajaiban cara hidup Budhis terletak
dalam polanya yang sama sekali rasional, dengan cara dan sarana yang sangat sederhana,
secara mengagumkan membawa hasil-hasil yang memuaskan.
Bagi
seorang ahli ekonomi modern mengukur taraf hidup itu dari jumlah konsumsi per
tahun, dengan anggapan bahwa seseorang yang mengkonsumer lebih banyak adalah
“lebih makmur“ daripada orang yang melakukan konsumsi sedikit. Seorang ahli
ekonomi budha akan menilai pendekatan ini sebagai tidak rasional karena
konsumsi adalah sekadar sarana untuk
kesejahteraan manusia. Maka yang menjadi
tujuan adalah baagimana mencapai tingkat maksimal dengan konsumsi minimal.
Dipihak lain, ekonomi modern
menganggap konsumsi sebagai satu-satunya maksud dan tujuan semua kegiatan
perekonomian, dengan menggunakan faktor-faktor produksi—tanah, kerja dan modal—sebagai
sarana. Ekonomi Budha, ringkasnya, berusaha mencapai kepuasan manusiawi yang
maksimal dengan pola konsumsi yang optimal, semetara ekonomi modern berusaha
mencapai tingkat konsumsi maksimal dengan pola produksi yang optimal.
Adalah
jelas bahwa kesederhanaan dan tiadanya kekerasan merupakan dua hal yang saling
kait-mengait. Pola konsumsi yang optimal, untuk mencpai tingkat kepuasan
manusiawi yang tinggi melalui tingkat konsumsi yang relatif rendah, memungkinkan
orang untuk hidup tanpa rasa tertekan dan tanpa ketegangan untuk memenuhi amanat pertama dari ajaran
Budha: ”Berhentilah dari berbuat jahat, dan berusahalah berbuat baik”. Berhubung
sumber-sumber alam dimana-mana terbatas, maka cara memenuhi kebutuhan
dengan penggunaan sumber-sumber itu
secara sederhana akan mengurangi kecendrungan untuk saling berebut seperti yang
terjadi pada tingkat pengguaan sumber-sumber secara berlebihan. Begitu pula
orang yang hidup dalam masyarakat suatu daerah yang cukup mampu memenuhi
kebutuhanya sendiri (self sufficient) tidak akan banyak terlibat dalam
penggunaan kekerasan secara luas seperti halnya mereka yang tergantung pada
sistem-sistem perdagangan dunia.
Ajaran Budha memerintahkan agar orang bersikap
hormat dan tidak menggunakan kekerasan, bukan saja terhadap makhluk- makhluk
hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan, setiap pemeluk agama Budha wajib
menanam sebatang pohon pada tiap
beberapa tahun dan memeliharanya samapai sampai pohon itu cukup kuat untuk tumbuh
sendiri. Seorang ahli ekonomi Budha tak akan mengalami kesulitan untuk
menunjukkan bahwa ketaatan yang universal terhadap aturan ini akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang sehat, bebas dari bantuan dari luar.
Pertanyaan
yang timbul adalah apakah “modernisasi” sebagaimana dipraktekkan sekarang ini,
yang tidak mempedulikan nilai-nilai keagamaan dan spiritual dalam kenyataanya akan
sanggup membawa hasil yang diharapakan, sebab sepanjang yang menyangkut massa,
hasil modernisasi itu justru membawa
bencana dan kehancuran perekonomian desa, meningkatnya golongan pengangguran di
desa maupun di kota dan berkembangnya proletariat kota yang menderita
kekurangan makan, baik secara fisik maupun
spiritual.
Berdasarkan
pengalaman langsung maupun prospek jangka panjang inilah maka mengkaji tentang
ekonomi Budha itu patut disarankan bahkan perlu dipelajari oleh mereka yang
menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai suatu hal yang lebih penting daripada
nilai-nilai keagamaan dan spiritual.
Demikian tulisan tersebut memberikan
banyak gambaran tentang ekonomi modern dan mungkin kapitalis dengan ekonomi
yang diback-up ajaran agama. Pada dasarnya, ajaran kebaikan,
kejujuran, kesungguhan, kegigihan, dan hal-hal yang berpegang pada
prinsip-prisnsip kebenaran adalah ajaran setiap agama itu sendiri. Begitu juga
konsep ekonomi yang ditulis oleh E.F.Schumacher ini tentang ekonomi yang
berdasarkan ajaran Budha bukanlah suatu sistem yang seperti ada pada sistem kapitalis.
Seseorang bisa saja merasa tenang dengan
materi yang dia punya tetapi tidak setiap orang bisa tenang hati dan batinnya.
Pentingnya dunia materi dan spiritualitas dalam kehidupan Budha tidak lain
menurut Dennis Lardner Carmody & John Tully Carmody dalam bukunya In The Path of The Masters (2000: 70)
adalah menjadikan keduanya cantik dan indah.
Artikel ini menarik untuk dijadikan sebagai referensi.
BalasHapus